Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Senin, 07 Desember 2009

Minggu, 06 Desember 2009

SEJARAH KAB. WAJO

Kabupaten Wajo adalah salah
satu Daerah Tingkat II di provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia..
Ibu
kota kabupaten ini terletak di
Sengkang..
Kabupaten ini memiliki
luas wilayah 2.056,19 km² dan
berpenduduk sebanyak kurang
lebih 400.000 jiwa.

Sejarah
Wajo berarti bayangan atau
bayang bayang (wajo-wajo)..
Kata
Wajo dipergunakan sebagai
identitas masyarakat baru 605
tahun yang lalu yang merdeka
dan berdaulat dari kerajaan-
kerajaan besar pada saat itu..

Bupati Wajo: Drs.Andi Burhanuddin
Undru,MM
Di bawah bayang-bayang (wajo-
wajo=bugis)pohon bajo diadakan
kontrak sosial antara rakyat
dan pemimpin adat dan
bersepakat membentuk kerajaan
wajo Perjanjian itu diadakan di
sebuah tempat yang bernama
Tosora yang kemudian menjadi
ibu kota kerajaan Wajo..

Ada versi lain tentang
terbentuknya Wajo yaitu kisah
We Tadampali seorang putri dari
kerajaan Luwu yang diasingkan
karena menderita penyakit
kusta..
beliau dihanyutkan hingga
masuk daerah tosora. Daerah itu
kemudian disebut majauleng
berasal dari kata maja (jelek/
sakit) oli'(kulit. Konon kabarnya
beliau dijilati kerbau belang di
tempat yang kemudian dikenal
sebagai sakkoli (sakke'=pulih ; oli
= kulit) sehingga beliau sembuh.
Saat beliau sembuh, beserta
pengikutnya yang setia ia
membangun masyarakat baru.
Sehingga suatu saat datang
seorang pangeran dari bone
(ada juga yang mengatakan
soppeng) yang beristirahat
didekat perkampungan we
tadampali. Singkat kata mereka
kemudian menikah dan
menurunkan raja-raja wajo..

Wajo
adalah sebuah kerajaan yang
tidak mengenal sistem to
manurung sebagai mana
kerajaan kerajaan di sulawesi
selatan umumnya. Tipe kerajaan
wajo bukanlah feodal murni tapi
kerajaan elektif atau demokrasi
terbatas.

Dalam sejarah perkembangan
kerajaan wajo, wajo mengalami
masa keemasan pada zaman La
tadampare puang rimaggalatung
Arung Matowa Wajo ke-6 pada
abad 15. Islam diterima sebagai
agama resmi pada tahun 1610
saat Arung Matowa Lasangkuru
Patau Mula Jaji Sultan
Abdurrahman memerintah. Hal itu
terjadi setelah Gowa, Luwu dan
Soppeng terlebih dahulu memeluk
Islam.
Pada abad 16 dan 17 terjadi
persaingan antara kerajaan
makasar (Gowa tallo) dengan
kerajaan bugis (Bone, Wajo dan
Soppeng) membentuk aliansi
tellumpoccoe untuk membendung
ekspansi gowa, Aliansi ini
kemudian pecah saat Wajo
berpihak ke Gowa dengan alasan
Bone dan Soppeng berpihak ke
belanda...

Saat gowa dikalahkan
oleh armada gabungan bone,
soppeng, VOC dan buton, Arung
matowa wajo pada saat itu La
Tenri Lai To Sengngeng tidak
ingin menandatangani perjanjian
Bungayya.
.

Akibatnya pertempuran
dilanjutkan dengan drama
pengepungan wajo, tepatnya
benteng tosora selama 3 bulan
oleh armada gabungan bone
dibawah pimpinan Arung Palakka..

Setelah wajo ditaklukkan, tibalah
wajo pada titik nadirnya. Banyak
orang wajo yang merantau
meninggalkan tanah kelahirannya
karena tidak sudi dijajah..
Hingga saat datangnya La
Maddukkelleng Arung Matowa
Wajo, Arung Peneki, Arung
Sengkang, Sultan Pasir beliau
memerdekakan wajo. Sehingga
beliau mendapat gelar (Petta
Pamaradekangngi Wajo)yg artnya tuan
yang memerdekaakan wajo.
Arung Matowa Wajo masih
kontroversi, versi pertama
pemegang jabatan arung
matowa adalah Andi Mangkona
Datu Soppeng sebagai arung
matowa wajo ke-45 setelah
beliau terjadi kelowongan hingga
wajo melebur ke Republik..
versi
kedua hampir sama dengan
pertama, tapi Ranreng
Bettempola sebagai legislatif
mengambil alih jabatan arung
matowa (jabatan eksekutif)
hingga melebur ke republik versi
ketiga setelah lowongnya
jabatan arung matowa, maka
Ranreng Tuwa (H.A. Ninnong)
sempat dilantik menjadi pejabat
arung matowa dan memerintah
selama 40 hari sebelum
kedaulatan wajo diserahkan
kepada gubernur sulawesi saat
itu, bapak Ratulangi..

demikianlah
sejarah wajo hingga melebur ke
republik ini hingga kemudian
ditetapkan sebagai sebuah
kabupaten sampai saat ini.
Kabupaten Wajo dulunya terdiri
dari 10 kecamatan, akan tetapi
sejak tahun 2000 terjadi
pemekaran hingga saat ini
terdapat 14 kecamatan...



by.ank boegizt..
===============================

AWAL MULA

Bugis adalah suku yang
tergolong ke dalam suku-suku
Deutero Melayu. Masuk ke
Nusantara setelah gelombang
migrasi pertama dari daratan
Asia tepatnya Yunan.
Kata "Bugis" berasal dari kata To
Ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan "ugi" merujuk pada
raja pertama kerajaan Cina yang
terdapat di Pammana, Kabupaten
Wajo saat ini, yaitu La
Sattumpugi. Ketika rakyat La
Sattumpugi menamakan dirinya,
maka mereka merujuk pada raja
mereka. Mereka menjuluki dirinya
sebagai To Ugi atau orang-orang
atau pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi
adalah ayah dari We Cudai dan
bersaudara dengan Batara
Lattu, ayahanda dari
Sawerigading. Sawerigading
sendiri adalah suami dari We
Cudai dan melahirkan beberapa
anak termasuk La Galigo yang
membuat karya sastra terbesar
di dunia dengan jumlah kurang
lebih 9000 halaman folio.
Sawerigading Opunna Ware (Yang
dipertuan di Ware) adalah kisah
yang tertuang dalam karya
sastra I La Galigo dalam tradisi
masyarakat Bugis. Kisah
Sawerigading juga dikenal dalam
tradisi masyarakat Luwuk, Kaili,
Gorontalo dan beberapa tradisi
lain di Sulawesi seperti Buton.
Perkembangan
Dalam perkembangannya,
komunitas ini berkembang dan
membentuk beberapa kerajaan.
Masyarakat ini kemudian
mengembangkan kebudayaan,
bahasa, aksara, dan
pemerintahan mereka sendiri.
Beberapa kerajaan Bugis klasik
antara lain Luwu, Bone, Wajo,
Soppeng, Suppa, Sawitto,
Sidenreng dan Rappang. Meski
tersebar dan membentuk suku
Bugis, tapi proses pernikahan
menyebabkan adanya pertalian
darah dengan Makassar dan
Mandar.
Saat ini orang Bugis tersebar
dalam beberapa Kabupaten yaitu
Luwu, Bone, Wajo, Soppeng,
Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru.
Daerah peralihan antara Bugis
dengan Makassar adalah
Bulukumba, Sinjai, Maros,
Pangkajene Kepulauan. Daerah
peralihan Bugis dengan Mandar
adalah Kabupaten Polmas dan
Pinrang. Kerajaan Luwu adalah
kerajaan yang dianggap tertua
bersama kerajaan Cina (yang
kelak menjadi Pammana), Mario
(kelak menjadi bagian Soppeng)
dan Siang (daerah di Pangkajene
Kepulauan)
Masa Kerajaan
Kerajaan Makassar
Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri
kerajaan Gowa, Soppeng, Bone,
dan Wajo, yang diawali dengan
krisis sosial, dimana orang saling
memangsa laksana ikan. Kerajaan
Makassar kemudian terpecah
menjadi Gowa dan Tallo. Tapi
dalam perkembangannya
kerajaan kembar ini kembali
menyatu menjadi kerajaan
Makassar.
Sementara di daerah Bone
terjadi kekacauan selama tujuh
generasi, yang kemudian muncul
seorang To Manurung yang
dikenal Manurungnge ri
Matajang. Tujuh raja-raja kecil
melantik Manurungnge ri
Matajang sebagai raja mereka
dengan nama Arumpone dan
mereka menjadi dewan legislatif
yang dikenal dengan istilah ade
pitue.
Kerajaan Soppeng
Di saat terjadi kekacauan, di
Soppeng muncul dua orang To
Manurung. Pertama, seorang
wanita yang dikenal dengan
nama Manurungnge ri Goarie
yang kemudian memerintah
Soppeng ri Aja. dan kedua,
seorang laki-laki yang bernama
La Temmamala Manurungnge ri
Sekkanyili yang memerintah di
Soppeng ri Lau. Akhirnya dua
kerajaan kembar ini menjadi
Kerajaaan Soppeng.
Kerajaan Wajo
Sementara kerajaan Wajo
berasal dari komune-komune dari
berbagai arah yang berkumpul di
sekitar danau Lampulungeng
yang dipimpin seorang yang
memiliki kemampuan supranatural
yang disebut puangnge ri
lampulung. Sepeninggal beliau,
komune tersebut berpindah ke
Boli yang dipimpin oleh seseorang
yang juga memiliki kemampuan
supranatural. Datangnya
Lapaukke seorang pangeran dari
kerajaan Cina (Pammana)
beberapa lama setelahnya,
kemudian membangun kerajaan
Cinnotabi. Selama lima generasi,
kerajaan ini bubar dan
terbentuk Kerajaan Wajo.
Konflik antar Kerajaan
Pada abad ke-15 ketika
kerajaan Gowa dan Bone mulai
menguat, dan Soppeng serta
Wajo mulai muncul, maka terjadi
konflik perbatasan dalam
menguasai dominasi politik dan
ekonomi antar kerajaan.
Kerajaan Bone memperluas
wilayahnya sehingga bertemu
dengan wilayah Gowa di
Bulukumba. Sementara, di utara,
Bone bertemu Luwu di Sungai
Walennae. Sedang Wajo, perlahan
juga melakukan perluasan
wilayah. Sementara Soppeng
memperluas ke arah barat
sampai di Barru.
Perang antara Luwu dan Bone
dimenangkan oleh Bone dan
merampas payung kerajaan Luwu
kemudian mempersaudarakan
kerajaan mereka. Sungai
Walennae adalah jalur ekonomi
dari Danau Tempe dan Danau
Sidenreng menuju Teluk Bone.
Untuk mempertahankan
posisinya, Luwu membangun
aliansi dengan Wajo, dengan
menyerang beberapa daerah
Bone dan Sidenreng. Berikutnya
wilayah Luwu semakin tergeser
ke utara dan dikuasai Wajo
melalui penaklukan ataupun
penggabungan. Wajo kemudian
bergesek dengan Bone. Invasi
Gowa kemudian merebut
beberapa daerah Bone serta
menaklukkan Wajo dan Soppeng.
Untuk menghadapi hegemoni
Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan
Soppeng membuat aliansi.
Penyebaran Islam
Pada awal abad ke-17, datang
penyiar agama Islam dari
Minangkabau atas perintah
Sultan Iskandar Muda dari Aceh.
Mereka adalah Abdul Makmur
(Datuk ri Bandang) yang
mengislamkan Gowa dan Tallo,
Suleiman (Datuk Patimang)
menyebarkan Islam di Luwu, dan
Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro)
yang menyiarkan Islam di
Bulukumba.[3]
Kolonialisme Belanda
Pertengahan abad ke-17, terjadi
persaingan yang tajam antara
Gowa dengan VOC hingga terjadi
beberapa kali pertempuran.
Sementara Arumpone ditahan di
Gowa dan mengakibatkan
terjadinya perlawanan yang
dipimpin La Tenri Tatta Daeng
Serang Arung Palakka. Arung
Palakka didukung oleh Turatea,
kerajaaan kecil Makassar yang
tidak sudi berada dibawah Gowa.
Sementara Sultan Hasanuddin
didukung oleh menantunya La
Tenri Lai Tosengngeng Arung
Matowa Wajo, Maradia Mandar,
dan Datu Luwu. Perang yang
dahsyat mengakibatkan benteng
Somba Opu luluh lantak.
Kekalahan ini mengakibatkan
ditandatanganinya Perjanjian
Bongaya yang merugikan
kerajaan Gowa.
Pernikahan Lapatau dengan putri
Datu Luwu, Datu Soppeng, dan
Somba Gowa adalah sebuah
proses rekonsiliasi atas konflik di
jazirah Sulawesi Selatan. Setelah
itu tidak adalagi perang yang
besar sampai kemudian di tahun
1905-6 setelah perlawanan
Sultan Husain Karaeng Lembang
Parang dan La Pawawoi Karaeng
Segeri Arumpone dipadamkan,
maka masyarakat Bugis-
Makassar baru bisa betul-betul
ditaklukkan Belanda. Kosongnya
kepemimpinan lokal
mengakibatkan Belanda
menerbitkan Korte Veklaring,
yaitu perjanjian pendek tentang
pengangkatan raja sebagai
pemulihan kondisi kerajaan yang
sempat lowong setelah
penaklukan. Kerajaan tidak lagi
berdaulat, tapi hanya sekedar
perpanjangan tangan
kekuasaaan pemerintah kolonial
Hindia Belanda, sampai kemudian
muncul Jepang menggeser
Belanda hingga berdirinya NKRI.
Masa Kemerdekaan
Para raja-raja di Nusantara
bersepakat membubarkan
kerajaan mereka dan melebur
dalam wadah NKRI. Pada tahun
1950-1960an, Indonesia
khususnya Sulawesi Selatan
disibukkan dengan
pemberontakan. Pemberontakan
ini mengakibatkan banyak orang
Bugis meninggalkan kampung
halamannya. Pada zaman Orde
Baru, budaya periferi seperti
budaya di Sulawesi benar-benar
dipinggirkan sehingga semakin
terkikis. Sekarang generasi muda
Bugis-Makassar adalah generasi
yang lebih banyak mengkonsumsi
budaya material sebagai akibat
modernisasi, kehilangan jati diri
akibat pendidikan pola Orde Baru
yang meminggirkan budaya
mereka. Seiring dengan arus
reformasi, munculah wacana
pemekaran. Daerah Mandar
membentuk propinsi baru yaitu
Sulawesi Barat. Kabupaten Luwu
terpecah tiga daerah tingkat
dua. Sementara banyak
kecamatan dan desa/kelurahan
juga dimekarkan. Namun
sayangnya tanah tidak
bertambah luas, malah semakin
sempit akibat bertambahnya
populasi dan transmigrasi.
Mata Pencaharian
Karena masyarakat Bugis
tersebar di dataran rendah yang
subur dan pesisir, maka
kebanyakan dari masyarakat
Bugis hidup sebagai petani dan
nelayan. Mata pencaharian lain
yang diminati orang Bugis adalah
pedagang. Selain itu masyarakat
Bugis juga mengisi birokrasi
pemerintahan dan menekuni
bidang pendidikan.
Bugis Perantauan
Kepiawaian suku Bugis-Makasar
dalam mengarungi samudra
cukup dikenal luas, dan wilayah
perantauan mereka pun hingga
Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand,
Australia, Madagaskar dan Afrika
Selatan. Bahkan, di pinggiran
kota Cape Town, Afrika Selatan
terdapat sebuah suburb yang
bernama Maccassar, sebagai
tanda penduduk setempat
mengingat tanah asal nenek
moyang mereka[rujukan?].
Penyebab Merantau
Konflik antara kerajaan Bugis
dan Makassar serta konflik
sesama kerajaan Bugis pada
abad ke-16, 17, 18 dan 19,
menyebabkan tidak tenangnya
daerah Sulawesi Selatan. Hal ini
menyebabkan banyaknya orang
Bugis bermigrasi terutama di
daerah pesisir. Selain itu budaya
merantau juga didorong oleh
keinginan akan kemerdekaan.
Kebahagiaan dalam tradisi Bugis
hanya dapat diraih melalui
kemerdekaan.
Bugis di Kalimantan
Selatan
Pada abad ke-17 datanglah
seorang pemimpin suku Bugis
menghadap raja Banjar yang
berkedudukan di Kayu Tangi
( Martapura) untuk diijinkan
mendirikan pemukiman di
Pagatan, Tanah Bumbu. Raja
Banjar memberikan gelar Kapitan
Laut Pulo kepadanya yang
kemudian menjadi raja Pagatan.
Kini sebagian besar suku Bugis
tinggal di daerah pesisir timur
Kalimantan Selatan yaitu Tanah
Bumbu dan Kota Baru.
Bugis di Sumatera dan
Semenanjung Malaysia
Setelah dikuasainya kerajaan
Gowa oleh VOC pada
pertengahan abad ke-17,
banyak perantau Melayu dan
Minangkabau yang menduduki
jabatan di kerajaan Gowa
bersama orang Bugis lainnya,
ikut serta meninggalkan Sulawesi
menuju kerajaan-kerajaan di
tanah Melayu. Disini mereka
turut terlibat dalam perebutan
politik kerajaan-kerajaan Melayu.
Hingga saat ini banyak raja-raja
di Johor yang merupakan
keturunan Bugis.

SUKU BUGIS

Suku Bugis merupakan penduduk
asli Sulawesi Selatan. Di samping
suku asli, orang-orang Melayu
dan Minangkabau yang merantau
dari Sumatera ke Sulawesi sejak
abad ke-15 sebagai tenaga
administrasi dan pedagang di
kerajaan Gowa, juga
dikategorikan sebagai orang
Bugis.[2] Berdasarkan sensus
penduduk tahun 2000, populasi
orang Bugis sebanyak 6 juta
jiwa. Kini suku Bugis menyebar
pula di propinsi Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah,
Papua, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, bahkan
hingga manca negara. Bugis
merupakan salah satu suku yang
taat dalam mengamalkan ajaran
Islam.